memilih untuk...
selesai nonton "Lari dari Blora" , saya menangkap kontroversi yang dulu pernah saya hadapi juga. pak lurah di film itu menegaskan untuk tidak membujuk anak-anak samin untuk datang ke sekolah..(lagi tentang Masyarakat Samin, atau masyarakat Kampung Jepang, lihat di sini). bahwa kehidupan mereka sudah damai seperti begitu sejak satu abad yang lalu. tanpa sekolah dll.. jelas sekali, tokoh pak lurah dalam film itu, tidak ingin melakukan perubahan apapun pada masyarakat samin...
dulu, saya tanya sama teman yang sedang jadi tim ahli untuk proyek pembuatan jalan trans papua: kalo hutannya dibuka dan dibuat jalan, biasanya ada penebangan di hutan yang dilewati jalan tersebut. karena biaya orang untuk menebang dan mengangkut kayu jadi jauh lebih murah. dan lagi, siapa butuh jalan bagus? orang papua lebih banyak jalan kaki ketimbang naik mobil...
menanggapi itu, teman saya bilang: "saya tidak suka orang yang ingin memusiumkan orang lain"... hehe.. mungkin di proses amdal pembuatan jalan, dia sudah menghadapi kontroversi serupa, jadi agak emosional begitu. ya,..memang tidak baik memusiumkan orang lain. mereka toh bukan fosil.. meskipun kebudayaan dan cara hidup mereka di Papua, konon tidak banyak berubah dalam kurun 3000 tahun terakhir.
tapi apa jalan tengah antara keduanya..? tentu saja memberikan pilihan ini pada mereka. harusnya bukan kita yang memutuskan. bukan pemerintahan yang tidak pernah mengenal mereka, yang bisa memutuskan apa yang terbaik untuk mereka. bukan orang-orang Bapenas dan Departemen PU yang duduk di ruang AC yang memutuskan apa yang terbaik untuk orang-orang yang tinggal di pedalaman hutan Papua. pilihannya dulu yang mesti dibuka selebar-lebarnya untuk mereka, dengan segala konsekuensi yang mengikutinya, tentu..
sampai titik ini, saya lihat pendidikan jadi penting. pendidikan bukan yang seperti kita pahami di sekolah. ini pendidikan yang menguatkan mereka. pendidikan di sekolah-sekolah kita banyak yang justru melemahkan. mendidik untuk bisa berpikir kritis.. bukan menerima dengan giat..
lalu biarkan mereka memilih,.. yang penting adalah segala pilihan itu disadari, konsekuensi dan manfaatnya. punya jalan dan mobil juga bukan tidak berkonsekuensi buruk..tapi juga ada manfaatnya. punya hutan seperti sekarang, ada baik dan buruknya juga. tinggal pilih, mana yang mau diubah, seberapa besar. harusnya orang-orang pintar di Bapenas dan Departemen PU, tuan-tuan yang sehari-hari duduk di ruang AC itu, tinggal melaksanakan permintaan mereka yang berkoteka di hutan Papua itu. bukan sebaliknya.
yang terjadi malah sebaliknya: membuka jalan untuk membuka akses pendidikan. jadi diubah dulu, baru tanya penduduknya, mau diubah atau tidak... hehe..
Orang-orang di Dusun Jepang, dan Suku Badui sepertinya cukup beruntung. mereka seolah bisa memilih dan bertahan di derap laju pembangunan. tentu dengan memilih apa yang baik dan tidak baik menurut mereka... mungkin daerah mereka tidak punya sumberdaya alam melimpah seperti Papua, ya... hehehe
No comments:
Post a Comment