Monday, October 30, 2006

catatan acak tentang nalar dan emosi (2)

tapi saya masih percaya, seperti yang dituliskan Calne, bahwa tidak ada manusia yang betul betul murni menggunakan nalar saja. Dawkins mengajukan argumen argumen rasional, mungkin juga didorong oleh emosinya untuk membela teori evolusi Darwin. karena kalau mau serius, mungkin sebaiknya Dawkins menjelaskan probabilitas probabilitas evolusi gradual itu dalam bentuk peluang peluang statistik. di sini, jelas sekali kelihatan bahwa argumen argumen yang digunakan Dawkins pun lemah secara nalar. alih alih peluang statistik, Dawkins banyak menggunakan kata kata 'mungkin' untuk mengemukakan kemungkinan evolusi gradual. teori evolusi memang masih diselimuti lautan hipotesis. tapi saya juga tidak menerima tawaran bahwa peluang yang kecil (kalaupun ada perhitungan mengenai peluang evolusi gradual itu, dan hasilnya sangat kecil, seperti yang digembar-gemborkan kaum kreasionis), itu jadi sangat mungkin dengan campur tangan Tuhan.

lalu untuk apa Dawkins menulis argumen bantahan? untuk tujuan apa, itu masih belum jelas. mungkin seperti yang dibilang Edward O. Wilson: Nothing makes sense in Biology except in the light of evolution. :) atau seperti yang dituliskan Harun Yahya: mengukuhkan materialisme dan pemikiran-pemikiran agnostik, rasisme, fasisme, dan marxisme.

sama seperti kreasionis membela kepercayaannya bahwa ada sebuah desain intelektual dalam setiap makhluk hidup yang 'diciptakan' (dan bukan terbentuk melalui proses acak bernama seleksi alam). kepercayaan terhadap Tuhan yang 'mengemosi' menuntut pemuasan dengan menyerang (meskipun dengan argumen yang lemah secara nalar - yang disebut Dawkins sebagai 'argumen berdasarkan keteguhan hati') teori evolusi yang mengesampingkan memperkecil ruang gerak dan peran Tuhan.

konservasionis, didorong oleh harapan harapan (lagi lagi ini adalah nama lain untuk emosi, seperti Beelzebub untuk Syaithan,..) sebuah kehidupan berdampingan dengan alam, menentang perubahan perubahan kesetimbangan alam yang disebabkan oleh manusia. sementara itu ekolog (ngomong ngomong, saya jadi ingat obrolan dengan bapak Diden Muttaqien, yang bilang bahwa "saya mah seorang ekolog, bukan konservasionis...") berkata bahwa laju penggundulan hutan di Indonesia mencapai sekian kali lapangan bola pertahun, sekian persen lahan cagar alam boleh dibuka untuk pertambangan - teorinya itu akan mengurangi keanekaragaman, malahan mild disturbances cenderung akan meningkatkan keanekaragaman.

sains sebagai bentuk eksplisit dari nalar dinilai sebagai sesuatu yang bebas nilai. dengan begitu, kita sebetulnya tidak dapat membubuhkan embel embel 'lebih baik', 'rusak', 'bagus', 'jelek', 'sempurna'. seperti halnya kita tidak dapat menilai apakah 49% mata itu lebih baik, dari 48% mata. menurut sains, keduanya hanya berbeda 1%. itu saja.

pun sama halnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa 20% lahan Cagar Alam A yang terbuka itu lebih baik dari pada 60% lahan yang terbuka. lebih baik untuk apa? untuk siapa? sama seperti di atas, 49% mata lebih baik untuk siapa?

akhirnya, saya yakin, setiap orang terpaksa mengakui, bahwa dia - dan hanya dia lah, manusia, yang menjadi tolok ukur untuk keputusan keputusan yang dibuatnya sendiri. what a selfish being..., tapi toh, kita akan memperlakukan benda benda lain, makhluk lain, berdasarkan persepsi kita. untuk kemudian merasa puas dengan tatanan nilai yang kita buat sendiri. jadi kata kata selfish tidak tepat. saya pikir dagelan, itu lebih tepat.

dua duanya sama. ketika seseorang menggunakan nalarnya, pun ketika ia menggunakan emosinya, dua duanya dilakukannya berdasarkan tatanan yang ia buat sendiri. kita benar benar terkurung di dalam diri kita dengan panca indera kita sebagai jendelanya. apa yang kita persepsikan lewat panca indera kita lah yang kita percaya.

seperti kata Condillac: "Though we should soar into the heavens, though we should sink into the abyss, we never go out of ourselves; it is always our own thought that we perceive."

4 comments:

obot said...

'nothing makes sense..' itu ujaran dobzhansky, bukan wilson.

gue binun. kenapa berkata 'mungkin' disebut kegagalan bernalar? tidakkah hipotesis adalah cara berkata 'mungkin'..?

perbedaan 1% itu bukan sains.. tapi katalog informasi. Dengan bernalar kita bisa tahu bahwa 1% itu ternyata bisa menentukan apakah si mahluk sintas ('survive') atau punah.

menurut gue orang bernalar *harus* dengan emosi. kalau tidak ada rasa (ingin tahu), enggak perlu repot2 bernalar. cukup makan, minum, bernaung. titik.

entah siapa yang mencekokimu bahwa bernalar itu bebas emosi.. bernalar bisa objektif..dan harus objektif dalam kerangka sains. tapi motivasinya memang boleh jadi emosional..

jadi panjang nih. mending ngobrol sambil ngopi aja deh...

pengarsip said...

wah, makasih bot,... tapi ngga ada yang mencekoki gua masalah ini. mikir sambil lalu saja, jadi maklum kalo bolong di sana sini

iya ya, ngupi sambil ngobrol kayaknya asik..

Anonymous said...

perlu memeriksa:)

Anonymous said...

czemu nie:)