Wednesday, April 20, 2011

Kemiskinan dan Kebodohan Akar Terorisme (?)

Di media sekarang sedang rame-ramenya membahas tentang peristiwa bom bunuh diri Cirebon. Seorang kyai dari Nahdlatul Ulama, mencoba menganalisis mengapa orang bisa terjerat ke dalam jaringan terorisme. Dua faktor yang berulang kali disebutkannya adalah Kemiskinan dan Kebodohan.

Kebodohan, membuat para suicide bomber ini mungkin tidak dapat berpikir kritis. Saya sendiri pernah dua kali bersentuhan dengan jaringan islam ekstrimis ini. Dalam dua kali pengajian itu, pertanyaan-pertanyaan saya tidak mampu mereka jelaskan dengan baik. Jalan yang mereka tempuh, adalah dengan menjelek-jelekkan pemerintah (yang katanya kafir), kemudian mengajak untuk menentang hukum, dan pemerintahan. Saya setuju bahwa pemerintah ini payah. Solusi yang mereka tawarkan adalah khilafah. Tapi saya lebih suka pemerintahan di tingkat komunitas. Manusia ini makhluk sosial yang bisa mengatur dirinya sendiri, kok.. Skala pemerintahan yang terlalu besar menjadikannya lamban, dan cenderung otoriter. Apalagi dengan baju agama, otoriterisasi bisa dengan mudah diterapkan. Cara yang mereka ajarkan, dengan kekerasan, jelas-jelas bertentangan dengan islam-nya sendiri yang berarti 'jalan keselamatan' dan 'rahmat bagi seluruh alam semesta'. Menimbulkan ketakutan, tentu bukan bagian dari rahmat. Disini, doktrin dan ajakan mereka menjadi sangat tidak masuk akal.

Kelompok ini bilang, keislaman kita belumlah sempurna bila belum di-bai'at di depan imam mereka. Pertanyaan saya, siapa si imam yang patut menerima sumpah kita? Dari siapa ia memperoleh otoritas? Tuhan? Tuhan yang mana? Dalam persepsi siapa?

Pertanyaan kritis untuk agama seringkali dianggap sebagai bentuk ke-murtad-an. Menurut saya, bila agama itu benar, seharusnya ia adalah ajaran agama yang bullet proof.., artinya bisa menjawab logika manusia. Tentu dengan memperhatikan batas nalar manusia juga. Saya percaya, iman melengkapi logika. Bukan menggantikannya.

Penyebab terorisme yang kedua yang dikatakan Pak Kyai, adalah kemiskinan. Ini mengganggu saya. Perkara para 'pengantin' yang akhirnya mati bunuh diri itu adalah orang-orang yang 'miskin', tidak berarti menjadi penyebab ke-martir-an mereka adalah kemiskinan itu sendiri.

Ini mengingatkan saya akan solusi singkat (dan salah arah) mengenai obat dari segala masalah sosial: membuat masyarakat tidak lagi miskin, atau dalam bahasa pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Miskin mungkin berasosiasi dengan kekerasan. Tapi tidak selalu. Masalah bahwa mereka yang melakukan kekerasan adalah orang miskin, tidak berarti akar penyebab kekerasan adalah kemiskinan. Negara-negara kaya juga justru jadi pelaku kekerasan dalam perang, seperti yang tempo hari terjadi di Libya, bukan? Kalau benar demikian, seharusnya negara ini sudah kacau balau, karena sebagian besar penduduknya berada di bawah garis kemiskinan.

Ada buku yang sedang saya baca, si penulis (E.F. Schumacher) justru mengatakan bahwa perkembangan ekonomi konvensional saat ini, mensyaratkan masyarakat yang egois dan individualistis. Budaya masyarakat Indonesia yang penuh semangat gotong royong malah mungkin jadi penyebab mengapa ekonomi Indonesia terpuruk. Tapi antithesisnya, kita bisa lihat masyarakat perkotaan yang egois dan individualistis.. Begitu juga masyarakat desa yang dalam transisi peningkatan ekonomi. Tidak percaya? Rasakan sendiri.

Buat saya, hal-hal yang menggerogoti kekuatan sosial yang mengandalkan pada kerjasama (tanpa motif profit uang), justru menjadi awal dari kebobobrokan-kebobobrokan sosial lainnya.. mengembangkan ekonomi, membuat masyarakat jadi kaya, buat saya bukan solusi masalah sosial yang baik. apalagi dengan terciptanya kesenjangan (yang memang inheren dalam sistem ekonomi sekarang), kriminalitas dan kekerasan justru akan semakin merebak. pilih yang mana?

No comments: