Wednesday, August 04, 2010

hidup di dunia kosong yang berkelimpahan

sepasang ibu dan bapak tiba-tiba masuk dalam antrian persis di depan saya. terkejut, saya mencoba meredam kekesalan, sambil berkata: "pak, antrinya dari belakang". si bapak, tanpa malu, berkata: "ah, sudah tidak apa-apa". saya pikir: hah? yang bener aja?. dengan nada sedikit kesal, saya bilang: "saya ini satu grup dengan orang di depan saya". mereka maklum dan baru pindah. ke belakang saya.

malam tadi di rumah makan, seorang bapak dengan santai meninggalkan keran air yang terbuka setelah ia selesai mencuci tangannya. saya pikir: "ada apa dengan orang-orang ini? mungkin ada serangga di otaknya."

ini mungkin perilaku khas orang-orang yang hidup di dunia kosong yang kaya dengan sumberdaya. di dunia yang kosong, waktu jumlah penduduk masih sedikit, mungkin tidak ada antrian. orang saling menghormati dengan memberikan kesempatan lebih dulu pada orang lain. di dunia dengan penduduk yang lebih banyak, orang antri agar semua bisa berjalan tertib, lancar, semua bisa terlayani. siapa cepat datang, dia dilayani lebih dulu. orang-orang yang tidak terbiasa dengan keadaan seperti ini, pastinya tidak bisa menerima kenyataan seperti ini. bukan karena waktu sangat berharga buat mereka, tapi mungkin secara psikologis, mereka tidak punya nilai apapun untuk persoalan seperti ini. mereka minta sepuluh atau duapuluh orang yang antri di belakang mereka memaklumi, atau bahkan mungkin, menghargai mereka, dengan masuk memotong barisan antrian. mereka sendiri, tentu tidak akan pernah paham bagaimana perasaan orang-orang di belakang mereka, hanya karena mereka tidak pernah mengantri. bodoh sekali. seorang teman dulu pernah bilang, bahwa hidup di kota besar yang padat penduduk, orang harus dipersiapkan dengan norma-norma dan nilai baru untuk kehidupan sosial. kalau tidak, kejadian seperti ugal-ugalan di jalan, mau menang sendiri di jalan raya, memotong antrian dll, pasti akan sering terjadi. mengganggu ketertiban masyarakat banyak.

saya baru paham, kenapa bapak saya selalu memaki kalau lihat orang-orang berperilaku seperti ini dengan kata-kata: "dasar orang kampung!" mudahnya, karena memang, di kampung penduduk jauh lebih sedikit dibandingkan di kota, sehingga mereka tidak pernah ada kebiasaan untuk antri, atau memikirkan orang lain yang mungkin bisa merasa terganggu dengan perilaku mereka.

di kampung juga, waktu pertama kalinya saya ke kampung, hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya, adalah bahwa semua penduduk harusnya punya keran. karena di kampung, saya lihat air bersih mengalir terus menerus. memang, akhirnya saya sadar bahwa di beri keran atau tidak, air yang berlebih itu akan lari ke saluran pembuangan juga, akhirnya dan seterusnya ke sungai.

di kota-kota, di mana sumberdaya seperti air bersih sulit didapatkan, dan butuh energi serta biaya besar untuk mendapatkannya, perilaku seperti ini tentu tidak cocok. seperti si bapak yang meninggalkan keran mengalir setelah selesai cuci tangan.

begitu juga dengan perilaku membuang sampah 'sembarangan'. yang menarik dari perilaku ini, adalah ada tiga hal yang membuat kenapa membuang sampah secara 'sembarangan' jadi perhatian utama: jenis sampahnya, volume sampah dan yang ketiga, kondisi alamnya sendiri.

jenis sampah sekarang sudah sangat beragam. sebagian besar bahkan sampah plastik yang tidak akan terurai selama ribuan tahun. dulu, plastik tidak semudah saat ini untuk di dapatkan. dulu pembungkus menggunakan bahan-bahan alam, sehingga lebih mudah terurai. di masa yang lampau, jumlah sampah yang dihasilkan tentu lebih sedikit, karena penduduknya yang juga sedikit. akibatnya, sampah yang dihasilkan juga sedikit dan cepat terurai dengan sendirinya. saat ini, plastik dengan mudah kita temui. jumlah penduduk sudah jauh lebih banyak dan sampah yang dihasilkan juga menjadi lebih banyak dan lebih lambat terurai. alam yang semakin turun kualitasnya, membuat sampah jadi lebih lambat lagi terurati. apalagi plastik yang butuh waktu ribuan tahun.

apa yang terjadi saat ini, mungkin terjadi karena kita tidak siap dengan kondisi alam yang yang tidak lagi se-melimpah dulu. kita juga mungkin tidak siap hidup dengan jumlah orang yang sebanyak ini. kalau kita mau hidup di saat ini, di tempat ini, kita mungkin perlu mengubah perilaku kita. awalnya, mulai dari mengubah cara pandang dengan mengubah pemahaman kita tentang konteks kehidupan keseharian kita dulu.

No comments: