Harta Karun Untuk Semua
ada tulisan dari milis sebelah... katanya tulisan Dewi Lestari,... menarik buat disimak:)
Harta Karun Untuk Semua
oleh Dewi Lestari
Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang.
Ada satu buku yang langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya:
"Stuff ,The Secret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 8 halaman, tapi informasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil
dari mana barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang kita
berakhir.
Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik
memakan waktu ratusan tahun untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa
penggunaannya hanya dalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur setelah si pemakan permen menjadi fosil.
Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat, tanpa
deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan
sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantai
pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi
telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak
pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban
polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta.
Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa
wajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita
bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kita
sendiri?
Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencuci
secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis
daging burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar
2,400 liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500
kali lipat lebih berat daripada berat chip itu sendiri.
Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi.
Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang
tak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau
pusing. Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan
membedah jantung katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari
hulu dan hilir dari benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung
jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak kecil.
Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai, Pasar
Baru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan
PKL: tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan penduduk satu kota? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada
habisnya diproduksi? Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang
menggelontori pasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun: haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu?
Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa yang kita butuhkan?
Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi
tidak berbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan
beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu,
seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginan satu manusia.
Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata. Seorang
ekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi.
Seorang sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan.
Tapi jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara,
negara adalah kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan
individu, permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran
serta kemauan kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah
perubahan sejati.
Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi
sangat menentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protocol
Kyoto, tidak perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkah
kita-memilih merk, kuantitas, tempat, gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan seisi Bumi.
Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya
bekerja, tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya bisa memilih membaca berita lewat internet atau
membaca koran di tempat publik ketimbang berlangganan langsung.
Bagaimana dengan fashion? Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar.
Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju
yang tidak saya pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai
dan tak pernah lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat
dapur, bahkan sabun dan sampo yang utuh tak disentuh.
Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yang berisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jika
dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta
karun ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.
Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar.
Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan
sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-baru
baru. Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas dengan
harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari kampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan.
Terpaksa saya mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya
barang bekas untuk disalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya
timbunan harta karun yang entah harus diapakan. Stand saya menjadi salah satu stand paling laris selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah.
Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatif
lain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan.
Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen
pembatasan diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian,
dengan rak kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya...dengan
diri sendiri. Siapkah kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu?
Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua aneka pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk
info dan pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik.
Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir, dan hamburger yang kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu.
Banyak orang yang berkomentar pada saya, "Aduh, Wi. Kamu bikin hidup
tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu kita
justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yang lebih sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh industri demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.
Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah.
Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi kita
bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnya
kita cari.
Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.
1 comment:
Kita (manusia yang mampu mengkonsumsi) emang diarahkan untuk konsumtif ya pik... Aku udah pernah dapat artikel ini 2 tahun yang lalu, tapi masih segar untuk dibaca. Good as a reminder...
Post a Comment