belanjalah,.. dan, memilihlah!
"kita semua adalah pemilih. bukan dalam artian memberikan suara seperti masuk dalam bilik pencoblosan dan mencoblos satu partai atau calon pemimpin daerah, tapi dalam keseharian, saat kita membelanjakan uang kita." sudah dua kali saya dengar kalimat ini. di film 11th hour,.. dan di websitenya simple living ketika kita membelanjakan uang kita, kita telah mendukung kelangsungan usaha dari produsen barang itu. mulai dari gimana cara si produsen memproduksi barangnya (misalnya, apakah dalam pembuatannya dia mencemari lingkungan), gimana dia menjalankan bisnisnya (misalnya, apakah dia memberikan gaji yang terlalu rendah untuk buruhnya, menjegal usaha orang lain, atau misalnya bertindak tidak adil dengan tidak memberikan cuti hamil dan waktu untuk menyusui untuk buruh-buruh perempuan).
jika kita membeli barang-barang yang diproduksi seperti itu, berarti kita mendukung usaha tersebut. begitu intinya.
teman saya pernah bercanda soal seorang teman lain yang bicara soal kebenciannya pada amerika, sambil menghisap sebatang marlboro dan minum coca cola.. mungkin belum terpikir, atau saat itu dia hanya curhat soal kebenciannya pada amerika. ada juga ternyata tipe orang yang senangnya curhat, dan kalo ditanya "terus gimana?" atau "apa yang mesti kita lakukan untuk menyelesaikan masalahnya?" kebanyakan mereka cuman nyengir sambil bilang "susah" atau masih lebih mending: "itu mah tugasnya pemerintah buat ngebenerin, bukan gua"...
mungkin kita seringkali tidak sadar bahwa kita bersama punya kekuatan untuk membuat perubahan. dosen saya pernah cerita, waktu dia sekolah di luar negeri dulu, Nestle sempat punya kasus serius. susu yang disumbangkan ke sebuah negara di Afrika yang kena wabah kelaparan dan malnutrisi, telah membuat sebagian besar pengkonsumsinya sakit perut. entah kenapa. tapi pihak Nestle ngga mau bertanggungjawab atas dampak yang diderita para peminum susu produknya. akhirnya, beberapa mahasiswa mulai membuat kampanye untuk menolak minum susu Nestle yang disediakan untuk makan siangnya. omzet penjualan susu
Nestle saat itu sempat turun, dan atas desakan lebih lanjut, Nestle bersedia bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan di Afrika itu..
cerita lainnya adalah soal beras organik yang diproduksi petani di Yogyakarta. beras ini dijual ke Bali, karena pasar di Yogyakarta daya belinya kurang. beras ini diklaim sebagai bukan hanya beras yang diproduksi tanpa pupuk kimia dan selaras alam, tapijuga memberikan imbalan yang cukup untuk petani. akibatnya, harganya jadi lebih mahal dari beras biasa. tapi, nyatanya, beras ini menemukan tempat yang cocok di Bali.
saya ingat, saya pernah bilang sama salah seorang pendamping petani itu, bahwa kalau saja beras organik harganya lebih murah dari beras biasa, maka beras dan cara bercocoktanam yang organik ini akan dengan cepat tersebar luas. tapi, kita juga mesti sadar bahwa selama ini petani selalu jadi korban dari kebijakan harga beras yang selalu berubah-ubah, plus ketersediaan pupuk yang selalu tersendat. akibatnya, petani adalah salah satu golongan masyarakat yang sulit untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan. dengan mempertimbangkan jam kerja petani di sawah sebagai salah satu bagian dari ongkos produksi, maka satu masalah terselesaikan. petani jadi lebih sejahtera, karena waktu yang dia gunakan di sawah sudah pasti terbayar, tidak mesti tunggu harga beras yang kadang jatuh pada saat panen karena melimpahnya barang...
intinya, moral dari dua cerita itu adalah bahwa saya, kamu, kita semua sebenarnya punya kekuatan untuk menentukan apa yang baik dan apa yang tidak. dan untuk menentukan, memutuskan sesuatu, kita mesti tau, dampak apa yang akan terjadi karena keputusan kita itu. ini menentukan benar atau tidak keputusan kita.
kalo adam smith bilang bahwa ada kekuatan tidak nyata (invisible hand) yang mengendalikan keseimbangan pasar, maka sebenarnya kitalah kekuatan tidak nyata itu. secara mekanistik, pasar dapat diramalkan kecenderungannya, tapi, manusia adalah makhluk yang kompleks yang bisa memilih. kadang pilihannya diluar dugaan karena pengaruh nilai-nilai yang dimiliki. nah, pertanyaannya, apa nilai-nilai yang kita yakini ketika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu? termasuk misalnya, masalah sepele dalam membeli barang, yang seringkali tidak kita sadari adalah dampak yang terjadi karena pilihan aksi yang kita ambil untuk membeli suatu barang.
sudah saatnya kita menggunakan kekuatan yang kita miliki itu dengan bijak. bukan hanya karena suka dan tidak suka, tapi diperluas sampai pada dampak sosial dan lingkungan dari produksi barang itu.
memilih untuk tidak menggunakan kekuatan kita dengan bijak, berarti sama dengan berbuat zalim. memilih tanpa tau apa yang kita pilih juga perbuatan yang bisa dibilang bodoh. jadi langkah awal yang mesti kita lakukan adalah mengenali pilihan-pilihan dan konsekuensi dari pilihan tersebut. dan awal dari semua itu adalah pilihan untuk membeli atau tidak membeli, dan terus mendukung atau tidak mendukung keberlangsungan bisnis itu.
selamat memilih:)
4 comments:
ngeri kali kk analisisnya...
90 deh buat piki
mudah-mudahan ngasih nilainya ngga sambil ngelindur ya bud... hehe
ya, kita adalah seratus rupiah, yang tanpanya satu milyar tidak akan jadi satu milyar.
saya jadi inget cerita tentang anak yang ngelemparin satu demi satu bintang laut yang terdampar banyak sekali di pantai. piki tau ga tentang cerita itu?
belum belum belum....:)
ceritain me..!
Post a Comment