wakil rakyat (?)
"melawanlah, sebelum kata itu dihapus dari kamus" - F. Rahardi, 'Migrasi Para Kampret'
pagi ini melihat berita anggota dewan kehormatan DPR yang marah sama Slank, karena lirik lagunya (Gosip Jalanan - diterbitkan 2004), menistakan (in his very own word) anggota dewan. wah,..pertanyaan di media, setelah 4 tahun, kemana aja kok baru denger lagunya? yah, mungkin anaknya baru jadi slankers, atau dia baru denger lagu itu di radio. whatever.
kalo saya, kecil kemungkinan slank bikin lirik yang straightforward 'menistakan', seperti, misalnya (seperti yang pernah dikatakan Gus Dur, bahwa) DPR itu tak beda dengan taman kanak-kanak.
kita mungkin pernah ngerasa kesepet. nah, kalo diinget-inget lagi, sepetan itu pasti punya relevansi dengan kita kalo kita memang bener begitu. mungkin terus rada bete atau marah. tapi ya,.. kalo salah terima aja lah.. buat evaluasi:)
apa yang terjadi dengan sistem birokrasi kita adalah ketidakberdayaan. tidak ada yang cukup punya power untuk mengubah sistem birokrasi yang panjang, berbelit, massif, tidak efektif dan efisien. sementara perubahan di indonesia menuntut kelenturan birokrasi dan (bila perlu) perubahan yang sama cepatnya.
sementara itu, kemajuan-kemajuan tidak bisa lepas dari parameter fisik. jiwa pembangunan orde baru. wajar, karena mereka, anggota DPR dan sebagian besar birokrat Indonesia sekarang, mungkin anak didik orde baru. lihat rumah-rumah dinas anggota dewan, kendaraan dinas, kunjungan studi banding, laptop...dengan semua fasilitas itu, kinerjanya? apa kabar RUU anti pornografi (diluar kontroversinya) ? apa kabar pembicaraan soal kelangkaan minyak tanah? penebangan hutan? pembukaan areal hutan jadi tambang? dan pertanyaan paling penting mungkin, rakyat mana yang sebenarnya kalian wakili?
logika sederhananya begini: DPR itu kan katanya perwakilan rakyat. tapi rakyat yang mana yang diwakili? isinya utusan partai. dari sekian puluh partai yang ada di Indonesia sekarang ini, seberapa besar jumlah rakyat indonesia yang ikut menitipkan aspirasinya lewat partai?
oya, saya lupa sama pemilu yang dibilang mekanisme demokrasi. tapi, memilih siapa sih kita di pemilu? wakil partai kan? perkara partainya korup, bobrok, visi misinya ngga jelas,... apa kita, rakyat yang memilih, bisa urun intervensi? gampang jawabannya: tidak. atau, bisa sih, tapi harus ikutan partai. jadi, bagaimana kita bisa merasa memiliki, merasa menyimpan amanat pada sesuatu yang tidak bisa kita lakukan apa-apa padanya?
sekarang mungkin lebih baik dari jaman orde baru yang hanya ada 3 partai. rakyat jadi punya banyak pilihan. tapi apa segitu saja, peran rakyat? jadi pemilih dan memilih siapa yang akan mengatur hidup kita lima tahun mendatang? sebegitunyakah peran rakyat? jadi boneka, objek kekuasaan?
memang jalan panjang dalam pendidikan demokrasi. suatu saat saya membayangkan masyarakat yang bertanya pada wakilnya, 'apa yang membuat anda pantas kami percaya untuk mewakili kami?', atau pada saat si calon gubernur berkata akan mengurangi pengangguran sebesar 1 juta, kita akan bertanya, bagaimana caranya? mengundang investasi? dalam bentuk apa? dimana? siapa yang akan diuntungkan?
saat ini, mungkin saya (mungkin juga kita) harus cukup puas dengan janji-janji. meskipun biasanya, janji-janji tinggal janji..
sesungguhnya tidak pantas kita berharap apa-apa dari mereka. sepatutnya kita kasihan pada mereka. mereka orang-orang lemah yang tak berdaya. berada dalam sistem yang bobrok dan korup dan tidak mampu melakukan apa-apa. ketika dikritik, diingatkan, malah marah-marah. atau bilang iya, akan dijadikan bahan pertimbangan (dan dilupakan).
tidak semua, saya tahu. dan pada mereka yang berupaya melakukan perubahan, mereka yang bertanya kenapa, kita titipkan kepercayaan dan harapan kita.
No comments:
Post a Comment