catatan kaki 3
seorang bapak dari desa yang saya fasilitasi, bertanya: "bagaimana mungkin metode ini dapat berhasil dengan baik, sedangkan sumber daya manusianya minim sekali...?" yang dimaksud "sumberdaya manusia" oleh bapak ini, sebutlah, Mr. D - tentu bukan nama sebenarnya...., adalah sebagian besar peserta lainnya yang berprofesi sebagai nelayan, yang Sekolah Dasar saja tidak lulus. beberapa peserta malah tidak bisa membaca.
saya ingat jawaban Mba Any:
1. metode ini sangat mudah digunakan.
2. kita tidak perlu jadi orang yang tau segala galanya. kalau ada masalah yang kita tidak mengerti, kita bisa tanyakan pada ahlinya.
yang paling penting, menurut saya, dengan metode pemetaan masalah ini, kita tahu kalo:
1. kita punya masalah. dan bukan hanya masalah secara general, tapi juga harus detil, supaya kita memang benar benar memahami masalahnya.
2. gimana hubungan sebab dan akibat dari satu masalah dan lainnya.
3. harapannya, setelah tau hubungan antar masalah satu dengan lainnya, kita tahu bagaimana menyelesaikannya.
Mr.D adalah orang yang cukup terpandang di desanya. profesinya guru SMP. di desanya dia menjadi ketua Badan Pengawasan Desa (BPD, semacam lembaga kontrol terhadap kepemerintahan kepala desa. anggotanya dipilih masyarakat desa).
ketika sesi presentasi peta masalah yang dibawakan oleh salah seorang nelayan dari desa lain, pandangan Mr.D mengenai rendahnya kualitas SDM yang dipaparkannya, membuat dia sibuk mengkritisi sisi lain selain materi yang dipresentasikan. komentar komentarnya disampaikan dengan sikap yang melecehkan. dia duduk di barisan paling belakang, terpisah dengan anggota kelompok yang lain. anggota yang lain kemudian terpecah perhatiannya, dari semula memperhatikan masalah yang dipaparkan, hingga kemudian pada komentar komentar Mr.D. Tidak ada yang menjawab, tidak ada yang memberi tanggapan balik. mereka menerima. itu saja.
pandangan tentang pendidikan yang dianut Mr.D, memang tidak cocok dengan metode yang digunakan dalam training ini. parahnya, beliau keburu apatis dengan metodenya alih alih mencari tau kenapa metode ini yang digunakan, atau mengikuti prosesnya kemudian merefleksikannya.
dalam pandangan Mr.D, semua orang yang tidak sekolah, atau berpendidikan rendah, pasti kualitas pemikirannya juga rendah. sekolah jadi satu satunya lembaga yang pasti membuat orang menjadi pinter, dengan kualitas pemikiran yang oke banget. oke banget berdasarkan apa ya? mungkin berdasarkan sistem dominan
sebaliknya, pandangan Freire yang dipakai sebagai landasan metode pelatihan ini, memandang bahwa proses belajar adalah proses mengalami dan refleksi. asumsi yang digunakan adalah bahwa mereka lah yang sesungguhnya paling tau masalah yang ada di desa mereka. mentor hanya membantu mereka menganalisis masalah yang mereka hadapi. mentor bukan orang maha tahu.
tanggapan mereka yang hanya diam ketika menerima perlakuan Mr.D yang menurut saya terlalu melecehkan, juga sesuatu yang menarik. kata David, suaminya Mba Any, sikap seperti itu terbentuk karena "terlalu lama ditindas". yap, terlalu lama ditindas oleh sistem yang saking kejamnya, membuat mereka sendiri ngga sadar bahwa mereka ditindas. hasilnya adalah orang-orang yang minder, takut berpendapat, pasif, cenderung apatis,...
Mr.D, para nelayan itu, mungkin juga sebagian besar kita, adalah produk dari reproduksi sistem yang diperkeras dalam kultur dan mungkin juga, pendidikan.
1 comment:
Keep up the good work »
Post a Comment