tourism is a side effect (!)
"tourism is a side effect" begitu kata abril, rekan sekerja dalam suatu perbincangan. wah!! selintas terpikir, bahwa pariwisata itu ngga penting. rupanya pikiran kita sama. bu abril lantas menyambung: "meskipun begitu, tetep aja harus direncanakan dengan baik". saya pikir, apalagi karena pariwisata itu side effect, jadi ya harus direncanakan betul supaya pariwisata bisa jadi income tambahan, alih alih menimbulkan dampak negatif yang banyak disoroti orang (komersialisasi budaya, kerusakan lingkungan, gangguan terhadap hidupan liar, dll)
memang bagusnya kita tidak bertumpu pada pariwisata. di bali, di toraja, di asmat, cara hidup masyarakat sudah begitu sejak dulu. dan menarik perhatian turis untuk datang melihat. it's a side effect.
setelah peristiwa bom bali, guide guide wisata, pengusaha hotel, biro perjalanan, semuanya resah. jumlah tamu berkurang banyak. beberapa hotel gulung tikar. pak Halim, pengusaha biro perjalanan di Makassar, bahkan sempat bilang: "kayaknya bentar lagi saya jadi tukang jual ikan..."
hoho,... secara ekonomi, pariwisata memang disebut sebut sebagai industri yang sangat besar. lintas sektoral, dan sangat non sentralistik. industri dalam benak saya ya,.. seperti pariwisata ini. tapi seperti juga makhluk hidup, respon industri ini terhadap perubahan juga baik sekali. bom bali, demonstrasi, flu burung, kerusuhan... lalu zapppp... semua turis hilang. perilaku pariwisata sebagai sebuah bisnis, sebuah industri, memang unik.
memang seharusnya, saya pikir, kita tidak bertumpu pada pariwisata. Irene, turis asal Kanada, bilang: "kalian di indonesia ini mengagumkan sekali. setiap pulau punya atraksinya sendiri sendiri. tidak ada daerah tujuan wisata yang menyajikan keanekaragaman atraksi seperti indonesia". yap, Irene, but we didn't built such attraction. it is by means are our culture. tourism is just a side effect. dan justru karena itu, saya pikir, kita harus tetap bertahan pada tatanan yang sudah ada, sambil menyesuaikan diri terhadap peluang tambahan penghasilan hidup.
oya, saya lupa bilang, konteks yang sedang saya bicarakan ini soal wisata budaya dan alam. kalo yang lain, macam wisata belanja, wisata kuliner dll, itu mah terserah aja lah,... saya ngga terlalu ngerti. dan menurut saya, itu bentuk wisata yang diada ada.
tapi sebetulnya ada sedikit saja perbedaan antara bentuk ideal dari sebuah industri non sentralistik dalam benak saya dengan pariwisata: pariwisata sekarang masih kurang non sentralistik. beberapa segmen, yang berspesialisasi - dan dengan demikian memegang peran sentral, rentan terhadap perubahan:
1. hotel. apa itu hotel sebetulnya? tempat untuk tamu numpang tidur. isinya tidak lebih dari tata aturan, trik dan tips melipat serbet dan seprai, memasak, menyajikan makanan, menyediakan wc dan kasur, sisanya service yang memuaskan. bentuk seperti itu sebetulnya bisa dilimpahkan fungsinya pada masyarakat di sekitar daya tarik wisata nya. dengan membuka homestay, dll. investasi benda untuk itu bisa dibilang cukup rendah. dan lebih banyak investasi di pengetahuan dan keramahtamahan.
jangan salah tangkap, bukan artinya hotel itu sama sekali ngga ada gunanya...buat saya, hotel baru terasa manfaatnya untuk mereka yang melakukan perjalanan bisnis.
2. guide. ini juga sebetulnya tidak perlu dijadikan profesi sendiri. peran guide sebetulnya ada pada keunggulannya dalam menguasai bahasa ibu si tamu. selebihnya? hmm.... sekarang begini: siapa yang kira kira paling tau tentang sesuatu yang ingin diketahui turis itu? guide? hoho,... seorang penjaga tiket di tana toraja malah sempat bilang, bahwa sering ada guide yang salah memberikan informasi pada turis. yang paling tau tentulah mereka yang kuantitas dan kualitas interaksi dengan apa yang ingin kita ketahui itu paling tinggi nilainya: masyarakat lokal.
seperti juga usaha hotel, investasi yang terbesar yang dibutuhkan adalah pengetahuan dan keramahtamahan.
3. biro perjalanan wisata. mirip seperti guide, tapi saya tidak tahu siapa seharusnya yang mengambil peran pengganti. mungkin tidak perlu ada biro perjalanan wisata. mungkin sebaiknya informasi mengenai suatu daya tarik wisata disebarluaskan, plus informasi tentang sarana pendukungnya (homestay, restoran,dll). sekarang sudah jaman internet,.. mestinya tidak susah.
4. pedagang suvenir. selama pedagang suvenir itu orang lokal, yang punya sumber pendapatan sendiri, yang juga tidak tergantung pada kedatangan dan pembelian wisatawan sebagai masukannya, saya pikir oke. beda dengan pedagang suvenir yang bukan orang lokal, yang lantas - lebih parah lagi - bergantung pada penjualan suvenir untuk hidup. walhasil, kita bisa lihat pedagang kaki lima di tepi pantai pangandaran yang sebagian besar bukan berasal dari pangandaran. mereka menolak ditertibkan dalam rangka penataan kawasan. padahal keberadaan mereka di tepi pantai dalam jumlah yang terlalu banyak seperti sekarang, sebetulnya mengganggu wisatawan yang ingin menikmati pantai.
ketika terjadi pergeseran peran, dan pariwisata menjadi salah satu sektor yang diunggulkan untuk memperoleh uang, maka masalah lainnya menunggu. tujuan juga kemudian berubah: mendatangkan sebanyak mungkin tamu. karena sebanyak mungkin tamu berarti sama dengan makin tingginya pendapatan.
2 comments:
wa.. piki dah balik dari Toraja ya? mana aplotan foto2nya?
wah pik, kok lo jadi terinspirasi buat tulisan gara2 kata2 gw sih hahaha.....
Post a Comment