Thursday, May 04, 2006

bumi kita bukan tong sampah!



memang bukan!

lebih lagi, memang ada yang namanya sampah buat bumi? sampah cuma ada buat kita. manusia.

begitulah. kita melihat daun-daunan kering yang berserakan di halaman, plastik bungkus makanan di pinggir trotoar, puntung rokok, asap knalpot, makanan basi, "sisa metabolisme" padat di kali,.... semuanya kita lihat sebagai sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan. kita menamakannya: sampah. sesuatu yang wajib dihindari. wajib di jauhi. anywhere but near.

padahal kalo menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, sesuatu yang kita sebut sampah adalah sumberdaya baru buat organisme lain. daun-daun kering di jalan adalah sumber makanan buat jamur dan, pada akhirnya pohon-pohon di sekitarnya. entah kalo plastik. bahannya kita yang bikin, mestinya kita juga yang menjadikannya sumberdaya. mau di olah lagi, atau dimakan, terserah. plastik susah dimanfaatkan sama organisme lain.

cara pandang kita membuat kita menyingkirkan sampah. walhasil, menggunung (bukan lagi menumpuk,) - lah ia. sesuatu yang berbau tidak enak, berlendir, dikerubungi lalat. sesuatu yang kita hindari mati-matian, sampai rela membayar iuran sampah, atau menyisihkan sebagian uang pajak untuk petugas kebersihan.

sekarang, gunungan gunungan sampah itu ada di sekitar kita, di Bandung ini. itu sampah yang sudah dibuang pada tempatnya. tapi toh tetap mengganggu, karena sebenarnya yang kita lakukan adalah menyingkirkannya dari pandangan kita. anywhere but near. lalu ketika kita lewat didekat tumpukan sampah itu, kita menutup hidung dan menggerutu: "pemerintah ini kerjanya ngapain aja sih? beginian aja ngga becus diurus." kita membohongi diri sendiri, atau lupa bahwa kita punya andil atas menumpuknya sampah?

jadi, membuang sampah pada tempatnya bukan solusi. dan saya juga tidak melihat bahwa pemerintah tidak becus memenej sampah. yang tidak becus dan tidak bertanggung jawab itu kita! kita si penghasil sampah.

mungkin kita tidak pernah sadar, bahwa ketika kita membeli sebungkus rokok, atau sebutir permen, atau belanja sayuran, maka plastik yang membungkusnya dan sisa-sisa yang tidak kita manfaatkan (puntung, sayur yang busuk), adalah tanggungjawab kita. kita lebih sering melepas tanggung jawab dengan membuangnya di tempat sampah, menunggu petugas mengangkutnya.

padahal sampah kita juga yang longsor di TPA Leuwigajah beberapa waktu yang lalu. apakah itu bukti bahwa sampah yang kita singkirkan dari pandangan kita terkelola? kalau kuantitasnya segunung begitu, alam juga punya batas kapasitas untuk mencerna. sementara tanah kosong di depan rumah kita nganggur, padahal kompos bisa dibuat di sana.

jadi solusinya apa?

solusinya, kurangi konsumsi hingga batas yang dapat kita pertanggungjawabkan. kalau anda tidak bisa mencerna plastik, ya jangan pake plastik, karena organisme lain juga tidak sanggup mencerna plastik. atau berikan saja sama bapak-bapak pemulung, biar dimanfaatkan lagi...

dengan segala bala bantuan organisme lain di sekitar kita, kita bisa mempertanggungjawabkan sampah yang kita hasilkan. pohon-pohon yang butuh mulsa hijau (lapisan daun di atas tanah, biasanya dipake untuk menjaga kelembaban tanah, sambil dalam proses menjadi pupuk hijau), segala mikroorganisme yang bisa membantu penguraian air bekas cucian kita yang dibuang ke halaman depan rumah, ikan-ikan di kolam yang bisa memanfaatkan "sisa metabolisme padat" kita, agar ia tidak berenang lagi di sungai. hehehe....

kerjasama. sadari bahwa kita tidak hidup sendiri. toh hasilnya kita juga yang menikmati. soal batas konsumsinya? nanti kita temukan sendiri. jika dompet kita menunjang, batas itu sebenarnya terletak pada kapasitas bala bantuan yang kita miliki untuk menerima 'hadiah' dari kita.

sayangnya, solusi mengurangi konsumsi seringkali dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. sama seperti solusi untuk kemacetan: membatasi jumlah kendaraan, alih alih memperlebar jalan.

padahal kalau kita sadar bahwa sampah itu tanggungjawab kita, dan kita mau memikul tanggung jawab itu, dengan sendirinya kita akan mengurangi konsumsi. lagipula, pasti ada batas untuk semua hal. begitu juga dengan konsumsi. tidak ada sesuatu yang terus terjadi tanpa batas. limit sesuatu mendekati tak hingga cuma ada di teori kalkulus. jumlah kendaraan bisa terus bertambah, tapi toh jalan yang bisa diperlebar atau dibangun jadi jalan layang kan terbatas? mungkin kita mau bikin jembatan layang sampe langit ke tujuh....

bener juga kata David (YPBB), sesuatu yang berkaitan dengan perubahan gaya hidup seringkali bukan dianggap solusi. dengan alasan: tidak populer, atau bahkan, tidak manusiawi. padahal perubahan gaya hidup adalah solusi mendasar untuk banyak persoalan lingkungan.

lihat saja slogan yang digemborkan: "buanglah sampah pada tempatnya" alih alih "jangan bikin sampah!" gampang, sih.... tapi sudah bukan lagi solusi ketika sampah yang akhirnya harus ditangani kuantitasnya bergunung-gunung.

mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah kita terlalu permisif. atau mungkin kita tidak serius?

note: hak cipta foto oleh panitia bersama Peringatan Hari Bumi 2006 di Bandung

2 comments:

Anonymous said...

kamu sendiri udah melakukan apa sebagai solusinya?

pengarsip said...

wah ya nda' etis toh kalo saya tulis di sini,... nanti disangkanya pamer...

tapi percaya deh, saya ngga nulis atau bicara sesuatu yang saya sendiri tidak lakukan.

ada yang kurang sih, saya masih belum bisa ngajak siapa-siapa untuk melakukan ini. padahal efeknya bakal lebih gede kalo banyakan mah.

kamu mau?